TEKS EKSPOSISI ( DINA CAHYANI MEILAWATI / 10 )
PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA ANOMALI
Ada empat faktor, kata Daeng, yang membuat pertumbuhan ekonomi
anomali. Pertama, ekonomi Indonesia digerakkan oleh utang luar negeri yang
angkanya terus naik. ”Utang Indonesia terakumulasi mencapai Rp 2.870 triliun.
Utang luar negeri bertambah setiap tahun. Utang selanjutnya menjadi sumber pendapatan
utama pemerintah dan menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi,” paparnya. Kedua, pertumbuhan ekonomi didorong oleh peningkatan konsumsi
masyarakat yang bersumber dari naiknya harga sandang dan pangan, serta ditopang
dari pertumbuhan kredit khususnya kredit konsumsi.
Faktor ketiga, pertumbuhan ekonomi didorong ekspor bahan mentah,
seperti bahan tambang, migas, hasil perkebunan dan hutan, sehingga tidak banyak
menciptakan nilai tambah dan lapangan pekerjaan. Terakhir, pertumbuhan ekonomi
didorong oleh investasi luar negeri yang membuat sumber daya alam kian dikuasai
asing. Pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, A Tony
Prasetiantono menyatakan, sektor domestik mendukung pertumbuhan ekonomi
nasional. ”Transmisi krisis global melalui penurunan ekspor dan defisit neraca
perdagangan baru akan terasa pada kuartal ketiga dan keempat tahun ini. Lagi
pula, kontribusi ekspor terhadap PDB tidak besar,” kata Tony.
Hal senada disampaikan ekonom Mirza Adityaswara. Sejumlah sektor
ekonomi dalam negeri tumbuh karena didorong oleh suku bunga rendah yang tampak
dari tumbuhnya kredit 26-28 persen (tahunan) sekaligus didorong oleh harga
bahan bakar minyak (BBM) yang rendah karena masih disubsidi. ”Maka dari itu, pertumbuhan tinggi dialami sektor yang berorientasi
dalam negeri, seperti perdagangan, manufaktur, otomotif, transportasi,
komunikasi, dan konstruksi,” kata Mirza. Dia menambahkan, akibat pertumbuhan
tinggi sektor yang berorientasi dalam negeri, kecenderungan defisit neraca
perdagangan akan semakin besar.
Menurut Tony, belanja pemerintah yang lebih cepat dan besar juga cukup membantu pertumbuhan. Seiring hal itu, inflasi yang terkendali di bawah 5 persen cukup membantu, meski hal tersebut ada efeknya, yaitu subsidi energi terus membengkak yang sebenarnya cenderung tidak sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar